Senin, 29 Desember 2008

HUBUNGAN HADIS DAN AL-QUR'AN

HUBUNGAN HADIS DAN AL-QUR'AN

Oleh : Zamroni,M.Pd

A. Pendahuluan

Dalam beragama Rosulullah SAW telah mewariskan kepada umatnya dua buah harta warisan yang paling berharga bagi kehidupan manusia khususnya umat Islam yaitu al-Qur'an dan hadis serta menetapkan keduanya sebagai sumber pokok ajaran Islam.

Al-Qur'an dan hadis juga merupakan dua sumber untuk mengenali hukum dan ajaran Islam yang mencakup berbagai aspek kehidupan manusia yang berkaitan dengan, aqidah, konsep hidup, ibadah, penetapan hukum, akhlak, adab sopan santun dan bidang-bidang kehidupan lainnya. Oleh sebab itu kita mesti memahami al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar. Tanpa itu mustahil kita akan dapat menjalani kehidupan ini sesuai dengan tuntunan dan syariat Allah SWT yang benar.

Dalam tulisan ini akan diuraikan secara terperinci tentang kedudukan hadis terhadap Al-Qur’an, fungsi hadis terhadap Al- Qur’an dan analisa penulis tentang hubungan hadis dan Al-Qur’an

B. Kedudukan hadis terhadap al-Qur'an

  1. Hadis sebagai penafsir ayat al-Qur'an

Hadis memiliki berbagai peranan yang penting terhadap al-Qur'an. Diantaranya hadis memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur'an jika memang tidak terdapat penjelasan yang lebih detail dalam al-Qur'an tentang sebuah ayat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pengantar buku Usul at-Tafsir berkata :

"Sesungguhnya cara menafsiri al-Qur'an yang paling tepat ialah menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an. Sesuatu yang disebutkan secara umum pada satu tempat dirinci pada tempat yang lain, dan sesuatu yang disebutkan secara singkat pada satu tempat disebutkan secara panjang lebar pada tempat yang lain.

Apabila tidak mendapatkan penafsirannya dalam al-Qur'an maka tafsirkanlah dengan hadis Nabi SAW karena sesungguhnya dia memberikan penjelasan terhadap al-Qur'an. Bahkan Imam Syafi'i mengatakan bahwa setiap hukum yang ditetapkan oleh Rosulullah SAW merupakan pemahaman yang berasal dari al-Qur'an. Allah berfirman

إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أرك الله ولا تكن للخآئنين خصيما

Artinya : "Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili diantara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang khianat". (QS. an-Nisa' : 105)

Dan firman Allah :

وما أنزلنا عليك الكتاب إلا لتبين لهم الذى اختلفوا فيه وهدى ورحمة لقوم يؤمنون

Artinya : "Dan kami tidak menurunkan al-Kitab (al-Qur'an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman". (QS. an-Nahl : 64).[1]

  1. Hadis/sunnah sebagai sumber hukum mendampingi al-Qur'an

Sebagaimana disampaikan di awal bahwa hadis/sunnah merupakan sumber hukum Islam. Dan para sahabat Rosulullah SAW telah melakukan ijma' dengan merujuk pada hadis/sunnah dan menempatkannya sebagai satu sumber hukum syariat yang mendampingi al-Qur'an. Diantaranya ialah para khulafa' rasyidin dan orang-orang yang datang setelah mereka, yang menyatakan dengan perkataan dan perbuatan.

Sebagai contoh as-Suyuthi menyatakan dalam kitab Ad-Duur al-Mansur bahwa Abdu bin Humaid Nasa'i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Baihaqi meriwayatkan bahwa Kholid Ibnu Usaid berkata kepada Abdullah Ibnu Umar : "Sesungguhnya kami menemukan shalat al-Hadhar bagi orang tidak bepergian dan shalat al-Khawf (shalat dalam keadaan waspada saat peperangan) di dalam al-Qur'an tetapi kami tidak menemukan shalat as-Safar (bagi orang yang bepergian)? Ibnu Umar berkata : "Wahai anak saudaraku sesungguhnya Allah mengutus Muhammad SAW kepada kita saat ita tidak mengetahui sesuatu. Dan sesungguhnya kita melakukan amalan sebagaimana kita melihat Rosulullah SAW melakukannya dan meng-qashar shalat dalam perjalanan sebagai satu sunnah yang ditetapkan oleh Rosulullah SAW.[2]

Dalam sejarah fiqih Islam penggunaan hadis/sunnah sebagai sumber hukum fiqih selain al-Qur'an ulama fiqih terbagi menjadi dua kelompok. Pertama kelompok madzhab yang menetapkan hadis/sunnah sebagai dasar semua hukum fiqih dalam Islam, dan mengingkari penggunaan qiyas dan ta'lil. Diantara mereka adalah madzhab Dawud dan Ibnu Hazm azh-Zahiri.

Kedua adalah kelompok madzhab ra'yu yang dipelopori oleh madzhab Abu hanifah dan kawan-kawannya. Dimana kelompok ini dikenal lebih pada penggunaan akal dalam menetapkan hukum Islam, sehingga terkesan kelompok ini mengingkari adanya sunnah/hadis. Pada kenyataannya sesungguhnya madzhab Abu Hanifah (imam para ahli ra'yu) tidak pernah menolak sunnah dan para imamnya masih berargumentasi dengannya serta membangun hukum-hukum mereka berdasarkan sunnah. Kebanyakan pemecahan maslah-masalahnya juga didasarkan pada sunnah. Sebagaimana contoh buku yang ditulis oleh al-Marghinan dengan judul al-Hidayah. Yang kemudian diberi penjelasan (syarah) dalam kitab yang berjudul Fath al-Qodir yang ditulis oleh Kamaluddin bin al-Hammam, maka akan kita dapatkan kekayaan yang besar dalam hadits. Bahkan Ibnu Hajar telah mentahrij hadits-hadits yang terdapat kitab al-Hidayah dalam karangan beliau yang berjudul ad-Dirayah lil hadits fi al-Hidayah. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya kelompok ini juga menggunakan sunnah dalam penetapan hukum Islam.

Yusuf Qardhawi mengatakan terdapat anggapan beberapa penulis sekarang bahwa menurut Abu Hanifah hadits yang shahih hanya ada tujuhbelas saja. Hal ini didasarkan kepada pernyataan Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimah. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa menurut Abu Hanifah hanya ada sekiat 17 – 50 hadits saja yang shahih. Tetapi kalau kita teliti maka pernyataan itu akan terbantahkan dengan sendiri oleh pernyataan Ibnu Khaldun dalam kitab yang sama tentang ketatnya persyaratan yang dimiliki oleh Abu Hanifah dalam memilih hadits. Abu Hanifah menerapkan syarat shahih sebuah hadits diantaranya hadits tidak boleh bertentangan dengan akal. Hal inilah yang menjadikan hadits shahih menurut Abu Hanifah sangat sedikit dan bukan pengingkaran atau kesengajaan beliau untuk mengingkari sunnah.

Oleh sebab itu pembahasan mengenai hadis/sunnah sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur'an di dalam semua buku ushul fiqih dalam semua madzhab diakui merupakan pembahasan yang luas dan berkepanjangan mencakup aspek kehujjahan, ketetapan, syarat-syarat penerimaan, dalalah, dan lain-lain yang tidak menjadi rahasia bagi orang yang mengkajinya.

Kalaupun terjadi penolakan imam fiqih dalam mengambil sebuah hadits sebagai dasar hukum Islam Yusuf Qardhawi menyebutkan ada tiga alasan pokok yaitu :

a. Mereka tidak yakin bahw Nabi SAW mengatakannya.

b. Ketidak yakinan tentang maksud yang difahami dari sabda Nabi SAW tersebut.

c. Mereka yakin bahwa hukum tersebut sudah dihapus.[3]

  1. Kontroversi kehujjahan hadis/sunah sebagai sumber hukum Islam

Dalam penggunaan hadis/sunah sebagai sumber hukum Islam terdapat kelompok yang menolak hadis sebagai sumber hukum Islam. Mereka menyadarkan pemikiran mereka kepada keragu-raguan (syubhat) yang mereka sangka sebagai dalil. Argumentasi mereka berdasarkan pada dalil berikut ini :

a. Firman Allah SWT

وما من دآبة فى الأ رض ولا طير يطير بجناحيه إلا أمم أمثالكم ما فرطنا فى الكتاب من شيئ ثم إلى ربهم يخشرون

Artinya : "Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatu dalam al-Kitab (al-Qur'an), dan kepada tuhanlah mereka dihimpun". (QS. al-An'am : 38)

.... ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيئ وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين

Artinya : "… Dan kami Turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar genbira bagi orang-orang yang berserah diri". (QS. an-Nahl : 89).

b. Sesungguhnya Allah menjaga al-Qur'an dan tidak menjaga Sunnah. Hal ini mereka dasarkan kepada firman Allah dalam surah Al-Hijr : 9

إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون

Artinya : "Sesungguhnya kamilah yang menurukan al-Qur'an, dan sesungguhnya kami memeliharanya". (QS. Al-Hijr : 9)

Jadi tidak terdapat garansi tentang kebenaran dan kemurnian hadits (sunnah).

c. Terdapatnya perintah Nabi SAW kepada beberapa orang sahabat untuk menulis al-Qur'an yang dikenal dengan para penulis wahyu sedangkan Nabi SAW melarang penulisan hadits dengan menyatakan janganlah kamu menulis sesuatu selain al-Qur'an.

d. Kemungkinan pemalsuan dalam hadits yang begitu besar bahkan terdapat hadits yang dhoif dan tidak dapat dijadikan landasan penetapan hukum dan argumentasi, serta sulit membedakan antara hadits yang shohih dan dhoif

e. Meski ulama hadits telah menyeleksi sunnah dari hadits-hadits maudhui tetapi belum menyeluruh pada sanad hadits dan matannya. Seleksi baru dilakukan pada bagian luarnya saja sehingga banyak hadits yang bertentangan dengan akal pikiran.

f. Sesungguhnya sunnah mencakup apa yang dikatakan oleh Nabi SAW sebagai manusia biasa dan perbuatan duniawinya atau sebagai pemimpin atau qadhi, maka bagaimana mungkin hal ini dijadikan satu ajaran agama secara umum untuk umatnya hingga hari kiamat kelak.[4]

Keraguan terhadap kehujjahan hadis ditanggapi oleh ulama hadits dengan mengutarakan beberapa argumentasi diantaranya :

a. Al-Qur'an menjelaskan kaidah-kaidah sedangkan hadis merinci hukum-hukumnya. Bahwa dalam ayat al-Qur'an surah an-Nahl : 89 bahwa al-Qur'an menjelaskan segala sesuatu, tetapi perlu digaris bawahi bahwa hal tersebut masih umum (mujmal) jadi membutuhkan perincian yang lebih jelas.

b. Pemeliharaan Allah terhadap al-Qur'an mencakup pemeliharaan sunnah. Hal ini didasarkan pada keberadaan sunnah sebagai perincian dari ayat al-Qur'an maka secara otomatis pemeliharaan mencakup pemeliharaan keduanya.

c. Periode penulisan hadis. Memang Nabi SAW melarang penulisan hadis pada masa beliau karena kemampuan baca tulis masyarakat muslim tatkala itu sangat lemah sehingga dikhawatirkan salah. Tetapi Nabi SAW juga telah memberikan perintah kepada beberapa sahabat tertentu untuk menulis hadits dan menyampaikannya dengan hati-hati agar tidak bercampur dengan al-Qur'an, diantara sahabat yang diizinkan menulis hadits ialah Abdullah bin 'Amr.

d. Kontribusi para ulama dalam melayani hadis/sunnah dan pemurniannya. Banyak hal dilakukan oleh ulama sunnah dalam melawan pendusta hadits dengan berbagai argumentasi serta menetapkan berbagai persyaratan dan criteria bagi hadits dari berbagai aspek yang dikemudian hari hal ini dijadikan sebuah ilmu yaitu ilmu mustholhul hadits yang mencakup sembilan puluh disiplin ilmu dalam hadits.[5]

C. Fungsi hadis/sunah terhadap al-Qur'an

As-Sunnah memiliki beberapa fungsi dalam kaitannya dengan al-Qur'an, diantaranya :

1. Memberikan perincian (tafshil) terhadap ayat-ayat yang global (mujmal). Misalnya ayat-ayat yang menunjukkan perintah shalat, zakat, haji di dalam al-Qur'an disebutkan secara global. Dan sunnah menjelaskan secara rinci mulai dari syarat, rukun, waktu pelaksanaan dan lain-lain yang secara rinci dan jelas mengenai tatacara pelaksanaan ibadah shalat, zakat dan haji.

2. Mengkhususkan (takhsis) dari makna umum ('am) yang disebutkan dalam al-Qur'an. Seperti firman Allah an-Nisa' : 11. Ayat tentang waris tersebut bersifat umum untuk semua bapak dan anak, tetapi terdapat pengecualian yakni bagi orang (ahli waris) yang membunuh dan berbeda agama sesuai dengan hadits Nabi SAW. "Seorang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir dan orang kafir pun tidak boleh mewarisi harta orang muslim" (HR. Jama'ah). Dan hadits "Pembunuh tidak mewarisi harta orang yang dibunuh sedikit pun" (HR. Nasa'i).

3. Membatasi (men-taqyid-kan) makna yang mutlak dalam ayat-ayat al-Qur'an. Seperti al-Maidah 38

والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكلا من الله والله عزيز حكيم

Artinya : "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah SWT. Dan Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-Maidah : 38).

Ayat di atas dibatasi dengan sabda Nabi SAW : "Potong tangan itu untukseperempat dinar atau lebih". Dengan demikian hukuman potong tangan bagi yang mencuri seperempat dinar atau lebih saja.

4. Menetapkan dan memperkuat hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur'an. Misalnya al-Hajj : 30.

... واجتنبوا قول الزور

Artinya : "… Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta". QS. Al-Hajj : 30).

Kemudian Rosulullah SAW menguatkannya dalam sabdanya : "Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar! Sahut kami : "Baiklah hai Rasulullah". Beliau meneruskan sabdanya : "1. Musyrik kepada Allah SWT. 2. Menyakiti orang tua". Saat itu Rosulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi : "Awas berkata (bersaksi) palsu". (HR. Bukhori Muslim)

5. Menetapkan hukum dan aturan yang tidak didapati dalam al-Qur'an. Misalnya di dalam al-Qur'an tidak terdapat larangan untuk memadu seorang perempuan dengan bibinya, larangan terdapat dalam hadits yang berbunyi : "Tidak boleh seseorang memadu seorang perempuan dengan 'ammah (saudari bapak)nya dan seorang perempuan dengan khalah (saudara ibu)nya". (HR. Bukhori dan Muslim).[6]

Selain yang tersebut diatas, fungsi hadis/sunah terhadap al-Qur’an adalah sebagai berikut:

  1. Membuat hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Dalam hal ini hukum-hukum atau aturan itu hanya berasaskan sunnah/hadits semata-mata. Contohnya larangan mengawini seorang wanita yang sepersusuan, karena ia dianggap muhrim senasab, dalam sabdanya:

إن الله حرم من الرضاعة ما حرم من النسب –متفق عليه-

“Sungguh Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab”. (riwayat Bukhari-Muslim)[7], serta hadits tentang kehalalan janin ikan yang ada dalam perut induknya yang disembelih dengan halal, dan seperti juga halalnya bangkai ikan laut.

  1. Mengubah ketetapan hukum dalam Al-Qur'an. Contohnya adalah ayat 180 Surat Al Baqoroh yang menjelaskan tentang kewajiban berwasiat. Kemudian diubah dengan hadits yang berbunyi: لا وصية لوارث. Menurut sebagian ulama ayat ini sudah dinasakh. Ada yang mengatakan bahwa ayat ini dinasakh dengan hadits yang tersebut di atas. Akan tetapi ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa ayat ini masih tetap “muhkamah”, artinya masih tetap berlaku. Antara lain pendapat seorang mufassir yang terkenal bernama Abu Muslim Al-Asfahany.[8]

Menurut ulama mutaqaddimin bahwa terjadinya naskh ini karena pembuat syariat menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya. Ketentuan yang terakhir menghapus ketentuan yang terdahulu karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. Ini menurut ulama yang menganggap adanya fungsi bayan naskh. Kelompok ini adalah golongan Muktazilah, Hanafiyah, dan madzhab Ibn Hazm Al Dhahiri. Hanya saja muktazilah membatasi fungsi naskh ini hanya berlaku untuk hadits–hadits yang mutawatir. Sementara golongan hanafiyah tidak mensyaratkan hadits mutawatir bahkan hadits masyhur yang merupakan hadits ahad pun bias menasakh hukum sebagian ayat Al Qur’an. Bahkan Ibnu Hazm sejalan dengan adanya naskh kitab dengan sunnah meskipun dengan hadits ahad.

Sedangkan yang menolak naskh jenis ini adalah Imam Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadits yang mutawatir. Kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar pengikut madzhab Dzahiriyah dan kelompok Khawarij. Menurut As-Syafi’i sunnah/hadis tidak dapat menaskh Al Qur’an. Hanya saja sunnah/hadis itu menjelaskan adanya naskh dalam Al-Qur’an, sebab naskh itu membutuhkan keterangan tentang dalil mana yang dahulu dan dalil mana yang datang kemudian. Sedangkan penjelasan dalam hal ini adalah dari Nabi sendiri.[9]

D. Analisa

Pada dasarnya fungsi pokok hadis/sunnah terhadap al-Qur’an adalah sebagai penjelas, walaupun terdapat salah satu fungsi hadis terhadap al-Qur’an sebagi pembawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya dalam al-Qur’an , akan tetapi ketika ditinjau lebih dalam sebenarnya setiap hadis/sunah mempunyai rujukan ketentuan pokok dalam al-Qur’an. Demikian juga dengan kedudukan hadis/sunnah adalah mendampingi dan penafsir al-Qur’an, hal ini disebabkan karena al-Qur’an penjelasannya masih bersifat mujmal dan masih sangat global.

Dengan demikian hubungan hadis/sunah dan al-Qur’an sangat terkait dan kuat sekali, serta tak bisa terpisahkan.Ummat manusia tidak akan dapa menangkap secara jelas ayat-ayat al-Qur’an yang sangat global tanpa panduan dari hadis/sunnah.

E. Penutup

Demikian kuat hubungan dan keterkaitan antara hadis/sunnah dan al-Qur'an bahkan Yusuf Qardhawi sendiri menyatakan seandainya tidak ada hadis/sunnah maka tidak ada qur'an. Dan bagaimana mungkin umat manusia akan dapat menangkap secara jelas ayat-ayat al-Qur'an yang begitu global dan ringkas serta memahami dengan benar tanpa panduan dan penjelasan yang lebih rinci dan jelas dari sunnah.

Bahkan Masyfuk Zuhdi memberikan keterangan bahwa sesungguhnya sunnah adalah bagian dari wahyu ilahy yang disampaikan kepada Muhammad SAW melalui perantara Jibril as. Sebagaimana termaktub dalam surat an-Najm ayat 3 dan 4

وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحى يوحى

Artinya : "Dan tiadalah yang diucapkan itu (al-Qur'an) menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang disampakan (kepadanya)". (QS. An-Najm : 3-4)

Dan sabda Nabi : "Ketahuilah bahwasanya aku diberi Qur'an dan semacam Qur'an besertanya". (HR. Abu awud, At-Tiridzi, Ibnu Majah dari al-Miqdam bin Ma'dikariba ra.).[10]

(Dosen STAIN Samarinda & STAIS Sengatta Kutim)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khathib, M. Ajaj. Hadits Nabi Sebelum Dibukukan. Jakarta. Gema Insani. 1999

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta. Bulan Bintang, 1992

Qardhawy, Yusuf, Pengantar Kajian Islam Studi Analistik Komprehensif tentang Pilar-pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam. Jakarta. Pustaka al-Kautsar. 1997

…… , Al-Qur'an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Ummat Islam, Robbani Press, Bandung, 1997.

Suparto, Munzier, Ilmu Hadits. Jakarta. Raja rafindo Persada. 2003.

Sahabuddin. H. As-Sunnah Diantara Pendukung dan Penolaknya. Jurnal Kajian Islam " Al-Insan". No. 2.Vol. 2005

Yusanto, Muhammad Ismail. et. al, Prinsip-prinsip pemahaman al-Qur'an dan al-Hadits, ,. 2002. Jakarta. Khairul Bayan, Sumber Pemikiran Islam

Zuhdi , Masyfuk, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya, Bina Ilmu. 1985.

Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Yogyakarta: PT Al- Ma’arif.



[1] Yusuf Qardhawi , Al-Qur'an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Ummat Islam, Bandung: Robbani Press, , 1997. h. 46

[2] Ibid. h. 68

[3] Ibid. h. 78

[4] Ibid. h. 84

[5] Yusuf Qardhawy, Pengantar Kajian Islam Studi Analistik Komprehensif tentang Pilar-pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 1997. h. 372-375

[6] Muhammad Ismail Yusanto et. al, Prinsip-prinsip pemahaman al-Qur'an dan al-Hadits, Jakarta: Khairul Bayan, Sumber Pemikiran Islam 2002. h. 114-116

[7] Dapat dilihat lebih lanjut dalam Tasyri’ul-Jina’iyl Islamy, A. Qadir ‘Audah I, hal.174-179 dalamFatchur Rahman, 1974, Ikkhtisar Mushtholahul Hadits, Yogyakarta: PT Al-Ma’arif. h.49.

[8] Masyfuk Zuhdi, 1993, Pengantar Ilmu Hadis, Surabaya: Bina Ilmu. h. 65-66.

[9] Munzier Suparta,Ilmu Hadis, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2003, h .65-66.

[10] Masyfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya, Bina Ilmu. 1985. Hlm. 17

METODE PEMECAHAN PARADOKSI HADITS

METODE PEMECAHAN PARADOKSI HADITS

A. Pendahuluan

Sebuah pendapat mengatakan bahwa hadits merupakan sumber kedua setelah al-Qur’an sangatlah rasional, karena dalam kenyataannya apa yang terdapat di dalam teks hadits adakalanya merupakan penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dianggap masih terlalu umum dan sulit untuk diterapkan. Walaupun kadang-kadang hadits bisa juga dianggap setara kedudukannya dengan al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat manakala suatu hukum tidak terdapat dalam al-Qur’an akan tetapi dalam hadits dijelaskan.

Pemahaman seseorang dengan orang lainnya terhadap teks sebuah hadits akan berbeda-beda. Hal ini dilatar belakangi oleh wawasan, kecerdasan dan analisis yang masing-masing orang yang tidak sama. Dalam kenyataanya mulai zaman sahabat perhatian terhadap pertentangan hadits dianggap sangat urgen. Pasalnya sepeninggal Nabi Muhammad saw, para sahabat inilah yang menjadi rujukan setiap permasalahan umat sehingga dari generasi kegenerasi pertentangan hadits ini menjadi pembahasan.

B. Pengertian Paradoksi Hadits

Paradoksi Hadits adalah ilmu yang mempelajari tentang hadits-hadits yang dhahirnya terlihat bertentangan.[1]Istilah lain paradoksi ( (مختلف dapat dipahami sebagai adanya pertentangan dua hadits dari segi maknanya. Pertentangan adakalanya bisa diselaraskan antara keduanya, dan adakalanya sulit untuk diselaraskan.[2]

Dua hadits yang dari segi makna dapat diselaraskan adalah hadits yang segi dhahirnya saja yang bertentangan, akan tetapi hakikatnya selaras/ tidak bertentangan. Seperti contoh dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari ra:

لا عدوى ولا طيرة )رواه بخا رى)

dan hadits:

فر من المجذوم فرارك من الأسد (رواه احمد)

pada hadits yang pertama Nabi saw meniadakan bahwa semua penyakit tidak akan menular. Sedangkan hadits yang kedua mengisyaratkan untuk lari dari penyakit judzam sebagaimana lari dari singa. Sedangkan sebab timbulnya hadits pertama adalah karena adanya kepercayaan orang jahiliyah bahwa mereka meyakini setiap penyakit akan menular dengan sendirinya. Untuk itulah Nabi saw mengeluarkan hadits yang menyatakan bahwa penyakit tidak akan menular apabila tidak dikehendaki oleh Allah swt. sedangkan hadits Nabi saw yang kedua mengisyaratkan jika dekat dengan orang yang mempunyai penyakit judzam, maka bisa menjadi sebab tertularnya penyakit judzam itupun dengan kehendak Allah.[3]

Dua hadits yang memerlukan penjelasan karena seakan bertentangan, misalnya ada sebuah hadits yang berbunyi:الماء لا ينجس شيء yang artinya sesuatu tidak bisa menajiskan air. Kemudian hadits lainnya berbunyi : اذا بلغ الماء قلتين لم يحمل نجسا artinya jika air sampai dua kullah maka tidak akan menjadi najis. Kedua dalil tersebut seakan bertentangan karena yang pertama memberi pengertian bahwa air tidak akan menjadi mutanajis meski terkena sesuatu yang najis, akan tetapi yang hadits kedua mengisyaratkan bahwa air jika kurang dari dua kulah jika terkena sesuatu yang najis maka airnya akan menjadi mutanajis.

Sebagian ulama’ memberikan nama terhadap ilmu ini dengan bermacam-macam nama antara lain: Musykilul Hadits, Ikhtilafu al-Hadits, Ta’wil Hadits, Talfiq Hadits, yang mana kesemuannya satu maksud yakni paradoksi hadits.[4]

C. Pentingnya Mempelajari Paradoksi Hadits

Paradoksi hadits adalah bagian terpenting dari ulumul hadits yang dibutuhkan oleh ahli hadits dan fuqaha serta ulama-ulama lainnya. Sangat dianjurkan bagi orang yang menekuni ilmu hadis untuk mempelajari ilmu ini secara mendalam. Ilmu ini merupakan buah dari ilmu hadits, yang di dalamnya membahas tentang keumuman dan kekhususan hadits, hadits yang muthlaq dan muqayyad, membahas mengenai penyelarasan hadits yang kontradiktif dan penyelesaian, serta menjelaskan hadits Nabi yang sulit dipahami penjelasannya dan pentakwilannya jika tidak dikaitkan dengan hadits yang lain.[5]Sebagaimana yang dikatakan Imam Sakhowi bahwa pemahaman seorang ahli hadits dan ahli fiqih akan sempurna jika telah mempelajari kitab paradoksi hadits.[6]

Para ulama memusatkan perhatian terhadap ilmu ini sejak zaman shahabat, yang menjadi rujukan umat dalam segala perkara sejak wafatnya Rasulullah saw. Para ulama berijtihad dalam banyak hukum, mengumpulkan hadits-hadits dan menjelaskan yang dimaksud dari sebuah hadits. Dari generasi kegenerasi ulama telah mempelajarinya.

D. Kitab-kitab Paradoksi Hadits

Para ulama terdahulu telah menghasilkan karya-karya besar dalam penyusunan kitab paradoksi hadits. Karya-karya tersebut dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Ikhtilafu al-Hadits

Kitab Ikhtilafu al-Hadits adalah kitab karya Muhammad Ibnu Idris Asy-Syafi’i (150-204 H). Kitab ini merupakan kitab paling masyhur diantara kitab-kitab lain yang membahas tentang paradoksi hadits. Karena kitab ini adalah pelopor adanya kitab paradoksi hadits. Dalam kitab ini tidak disebutkan keseluruhan hadits-hadits yang bertentangan. Akan tetapi memuat penjelasan adanya hadits hadits yang bertentangan serta metode penyelesaiannya. Dari sini Imam Syafi’i berharap ulama’ berikutnyalah yang akan mengikuti jalan beliau dan menyempurnakannya.

2. Ta’wilu Mukhtalifu al-Hadits

Kemudian kitab yang terkenal setelah karya Imam Syafi’i adalah kitab Ta’wilu Mukhtalifu al-Hadits karya Imam Al-Hafidh Abdullah Bin Muslim Bin Qutaibah Ad-Dainuri (213-276 H). Isi kitab ini adalah menolak para penentang hadits (inkar sunnah), yang menuduh bahwa hadits tidak bisa dipakai untuk pijakan hukum syara’ karena hadits dari perowinya tidak dapat dipercaya dengan asumsi adanya hadits yang bertentangan sehingga kehujjahan hadits masih diragukan. Untuk itulah al-Hafidh membantah tuduhan-tuduhan tersebut dalam kitab ini.[7]

3. Musykilu al-Hadits wa Bayanuhu

Kitab yang ketiga adalah Musykilu al-Hadits wa Bayanuhu karya Imam al-Muhaddits Abi Bakar Muhammad Bin al-Hasan (Ibnu Furak) al-Anshori al-Ashbihani, wafat (406 H). Yang isinya membahas hadits-hadits Nabi saw yang secara dhahir mengesankan menyerupakan Allah, memfisikkan Allah dan membahas hadits yang bertentangan, menolak tuduhan kafir yang mencacat agama Islam dengan menjelaskan maksud hadit-hadits Nabi, membatalkan pencacatan-pencacatan dan hadits yang samar-samar dengan hujjah-hujjah nakli dan akli. Kitab ini dicetak tahun 1362 H.

E. Kaidah Pemecahan Paradoksi Hadits

Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah adalah sebagai berikut:

1. Al-Jam’u wa al-Taufiq

Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan dan mengkompromikan kedua dalil tersebut, sekalipun dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqh yang dikemukakan Hanafiyyah di atas yaitu “mengamalkan kedua dalil itu lebih baik daripada meninggalkan salah satu di antaranya.” Mengamalkan kedua dalil, sekalipun dari satu segi, menurut mereka ada tiga cara, yaitu:

a. Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi, maka dilakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya. Apabila dua orang saling menyatakan bahwa rumah “A” adalah miliknya, maka kedua pernyataan itu jelas bertentangan yang sulit untuk diselesaikan, karena pemilikan terhadap sesuatu sifatnya menyeluruh. Akan tetapi, karena barang yang dipersengketakan adalah barang yang bisa dibagi, maka penyelesaiannya adalah dengan membagi dua rumah tersebut.

b. Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang berbilang, seperti sabda Rasulullah saw, yang menyatakan:

لا صلاة لجار المسجدالا فى المسجد (رواه أبو داود و أحمد بن حنبل)

Tidak (dinamakan) shalat bagi tetangga mesjid kecuali di mesjid. (H.R. Abu Daud dan Ahmad Ibn Hanbal)

Dalam hadits ini ada kata “la” yang dalam ushul fiqh mempunyai pengertian banyak, yaitu bisa berarti “tidak sah”, bisa berarti “tidak sempurna” dan bisa berarti “tidak utama.” Oleh karena itu, seorang mujtahid boleh memilih salah satu pengertian mana saja, asal didukung oleh dalil lain.

c. Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, seperti kasus ‘iddah bagi wanita hamil, atau kasus persaksian yang terdapat dalam hadits. Surat al-Baqarah, 2:234 bersifat umum dan surat al-Thalaq, 65:4 bersifat khusus, maka dari satu sisi ‘iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat al-Thalaq, 65:4. Ulama Hanafiyyah menempuh cara ini dengan metode naskh, bukan melalui pengkompromian.

2. Tarjih

Apabila pengkompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka seorang mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Tata cara tarjih yang dikemukakan para ahli ushul fiqh bisa ditempuh dengan berbagai cara. Umpamanya, dengan men-tarjih dalil yang lebih banyak diriwayatkan orang dari dalil yang perawinya sedikit, bisa juga melalui pen-tarjih-an sanad (para penutur hadits), bisa melalui pen-tarjih-an dari sisi matan (lafal hadits), atau di-tarjih berdasarkan indikasi lain di luar nash.

3. Naskh

Apabila dengan cara tarjih kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan, maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketahui mana dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan, seperti sabda Rasulullah saw.:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها ( رواه مسلم )

Adalah saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahlah (H.R. Muslim)

Dalam hadits ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir. Hukum pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur, dan hukum terakhir adalah dibolehkan menziarahi kubur, karena ‘illat (motivasi) larangan dilihat Nabi saw. tidak ada lagi.

4. Tasaquth al-Dalilain

Apabila cara ketiga, yaitu naskh pun tidak bisa ditempuh, maka seorang mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan tersebut.

Menurut ulama syafi’iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah, keempat cara tersebut harus ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.[8]

Sedangkan menurut Hanafiyyah kaidah dalam menyelesaikan paradoksi hadits adalah:

1. Naskh

2. Tarjih

3. Al-Jam’u a al-Taufiq

4. Tasaquth al-Dalilain[9]

F. Hujah-hujah Penolak Paradoksi Hadits

Jika mengkaji mendalam kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw, akan ditemukan pemahaman bahwa sebenarnya tidak mungkin terjadi pertentangan sebuah hadits antara yang satu dengan yang lainnya. Karena tidak mungkin terjadi Allah dan Rasulnya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan.

Dalil-dalil yang menolak adanya pertentangan hadits antara lain:

1. Firman Allah swt dalam surat An-Najm ayat : 1-4:

Yang artinya: “demi bintang apabila terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkanya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan ( kepadanya)”[10]

2. An-Nisaa ayat 82

Yang artinya :”patutkah mereka (bersikap demikian), tidak mahu memikirkan isi Al-Qur’an? Kalaukah al-Qur’an itu(datangnya) bukan dari sisi Allah, nescaya mereka akan dapati perselisihan yang banyak di dalamnya”[11]

3. Ali Imran

Yang artinya:”Sesungguhnya Allah telah mengurniakan (rahmat-Nya) kepada orang-orang yang beriman, setelah ia mengutuskan di kalangan mereka seorang Rasul dari bangsa mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah dan membersihkan mereka, serta mengajar mereka Kitab Allah (al-Qur’an) dan al-Hikmah”[12]

Ibnu Hazm berkata: tidak ada pertentangan sedikitpun dalam al-Qur’an dan hadits, pertentangan terjadi karena keterbatasan ilmu pengetahuan kita. Abu Ishaq al-Syatibi berkata: “perselisihan tersebut (dalil-dalil syara’) timbul karena kelemahan mereka memahami dan menemukan tujuan-tujuan Allah yang terkandung dalam nas-nasnya, hal ini bukan adanya pertentangan dalam dalil-dalil syara’ sendiri. Ibnu Qayyim berkata: “Sekelompok orang menduga bahwa ada hadits-hadits Nabi yang berlawanan dengan hadits-hadits lainnya, saling menggugurkan dan bertentangan, kami berpendapat bahwa tidak akan ada pertentangan antara hadits-hadits shahih[13]. Wahbah al-Zuhaili menyatakan bahwa pertentangan antara dua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis, dan kekuatan logikanya, bukan pertentangan aktual, karena tidak mungkin terjadi Allah dan Rasulnya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan.[14]

Pada dasarnya, nash-nash syari’at tidak mungkin saling bertentangan. Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, apabila diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal itu hanya dalam tampak luarnya saja, bukan dalam kenyataan yang hakiki. Atas dasar itu wajib menghilangkanya dengan cara: apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga kedua-duanya bisa diamalkan, maka yang demikian itu lebih utama daripada harus mentarjihkan antara keduanya. Sebab, pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya sementara mengutamakan yang lainnya.[15]

G. Analisa dan kritik

Paradoksi hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits yang secara dhahir bertentangan serta penyelesaiannya. Bagi ulama ahli hadits dan fuqoha sangat penting mendalami ilmu ini, karena dengan mendalami ilmu ini, maka akan sempurna pemahamannya terhadap hadits dan fiqh.

Penyelesaian paradoksi hadits menurut Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyah adalah:

1. Al-Jam’u wa al-Taufiq

2. Al-Tarjih

3. Al-Naskh

4. Tasaquth al-Dalilain

Sedangkan Hanafiyyah berpendapat tentang cara penyelesaian paradoksi hadits sebagai berikut:

  1. Al-Naskh
  2. Al-Tarjih
  3. Al-Jam’u wa al-Taufiq
  4. Tasaquth al-Dalilain

Kaidah pemecahan paradoksi hadits menurut Hanafiyyahlah yang dianggap lebih rajih, karena mendahulukan al-Naskh kemudian al-Tarjih dan seterusnya.

Tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Allah dan Rasulnya. Paradoksi pada dasarnya bersifat semu. Untuk itulah diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap hadits-hadits yang terlihat bertentangan.

Kepustakaan

Abdullah, Hafiz Firdaus dalam http;//www/alfirdaus.com/HadisCanggah/Pengenalan.htm

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, 1997, Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu, cet. Ke-7, Jeddah-Makkah, Daarul Munaaroh,

Al-Atthar, Abdu al-Nashir Taufiq, 1987, Ulumu al-Sunnati Wadustuuru lilummah

Harun, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh 1, Jakarta ,Logos

Holly al-Qur’an

Qardawi, Yusuf, Pent. Muhammad al-Baqir, 1995, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, cet. IV, Bandung, Karisma



[1] Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, 1997, Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu, cet. Ke-7, Jeddah-Makkah, Daarul Munaaroh, hlm. 295

[2] Al-Atthar, Abdu al-Nashir Taufiq, 1987, Ulumu al-Sunnati Wadustuuru lilummah, hlm. 179

[3] Ibid.

[4] Abdullah, Hafiz Firdaus dalam http;//www/alfirdaus.com/HadisCanggah/Pengenalan.htm

[5] Al-Khatib, op.cit. hlm. 295-296

[6] ibid

[7] ibid, hlm. 6

[8] Harun, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh 1, Jakarta ,Logos, hlm 178-180

[9] Ibid, hlm. 175-178

[10] Holly al-Qur’an

[11] Abdullah, op.cit.

[12] ibid

[13] Abdullah, Op.cit

[14] Haroen, op.cit, hlm 174

[15]Qardawi, Yusuf, Pent. Muhammad al-Baqir, 1995, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, cet. IV, Bandung, Karisma, hlm. 48

Selasa, 23 Desember 2008

Senin, 22 Desember 2008